Selasa, 01 Maret 2011

Si Tembem and Si Cerewet's Story

Tak pernah terbayangkan jika aku dan kamu akan saling mengenal. Bukan hanya karena jarak Bandung -  Malang yang membuat semuanya tersasa tidak mungkin, tapi juga karena tak ada sesuatu atau seseorang yang menghubungkan kita. Bahkan, kita juga tidak saling kenal dan tidak saling tahu meskipun dalam satu sekolah. Dulu, mengenalmu bagaikan sebuah mimpi. Dulu, memiliki hubungan serius denganmu pun seperti anganku saja. Semua bukan karena aku tak mampu menggapai mimpi itu atau bahkan tak berani mewujudkan anganku. Tapi karena kamu telah menjadi miliknya. Tak hanya itu, kamu pun sudah menganggapnya sebagai calon pendamping hidupmu kelak. Itu yang membuatku sangat membatasi awal perkenalan kita.

Berawal dengan sapaanmu di facebook-lah yang menjadi jembatan perkenalan kita. Kemudian aku memanfaatkanmu untuk mencari informasi tentang universitas tempatmu menuntut ilmu dan jurusan yang aku inginkan. Itulah yang menjadi penghubung jalannya keakraban kita. Tak hanya itu, kamu pun mulai mempercayaiku untuk bisa membangunkanmu tiap pagi. Tak jarang kita juga saling berdiskusi tentang pelajaran, semangat, pengalaman, hidup, sekolahku dan kuliahmu bahkan sharing agama juga tak luput dari bahasan kita. Kamu yang memberiku motivasi untuk selalu melakukan hal-hal positif. Ini yang membuatku senang mengenalmu dan aku bisa belajar banyak darimu.

Mendadak kamu berubah ketika kamu mengatakan telah berpisah darinya. Seseorang yang penuh semangat itu terlihat begitu rapuh dan benar-benar terluka. Kamu berubah layaknya orang yang terpuruk, putus asa, dan tak punya semangat lagi. Aku berusaha selalu ada untuk mendengar setiap keluh kesahmu. Tak sedikit kata-kata motivasi yang aku katakan agar kamu kembali seperti dulu. Hingga akhirnya, perlahan kamu bangkit dari keterpurukan itu dan berhasil mengumpulkan kembali puing-puing semangat yang sempat tercecer.

Tak berselang lama, kamu membuatku terkejut dengan ulahmu yang mengatakan bahwa kamu sayang, nyaman dan merasa cocok denganku. Aku bingung dengan perasaanku saat itu. Haruskah aku senang atau sedih menanggapi kata-katamu. Mungkin aku lebih merasa sedih karena aku harus menyadari bahwa kamu belum lama berpisah darinya yang menjadikanku takut jika kamu mengatakan itu hanya untuk melampiaskan rasa sakit hatimu padaku. Sulit rasanya bisa mempercayaimu saat itu. Tapi kamu membuktikannya dengan terus berusaha meyakinkanku bahwa apa yang aku takutkan itu tidak benar.

Kamu tak menginginkan jika hubungan kita dilanjutkan dengan berpacaran dengan alasan tertentu, tapi aku pun menyetujuinya karena alasan dariku juga. Tanpa canggung kamu mengatakan jika kamu ingin menikah denganku suatu saat nanti. Mungkin tanggapanku saat itu kurang enak menurutmu. Bukan karena aku tak mau jika suatu saat nanti akhir cerita “Si Tembem dan Si Cerewet” akan happy ending, tapi bagiku itu hal yang baru, tabu, menakutkan dan jauh dari pemikiranku. Aku pun juga takut pamali jika suatu saat nanti keinginan itu tak akan terwujud. Akhirnya kita berusaha menemukan solusi yang terbaik dengan membuat suatu komitmen jika 6 tahun lagi kita akan menikah. Kita berjalan masing-masing tapi tetap saling menjaga, saling mendukung dan saling mendoakan. Aku merasa nyaman dengan keadaan seperti ini.

Tak sedikit masalah yang datang di antara kita. Maklum saja, ketika dua pemikiran dan dua hati yang berbeda mencoba untuk disatukan kemudian mengalami perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dalam suatu hubungan. Perbedaan pendapat, masalah berdatangan dan pertengkaran yang terjadi membuat kita menjadi lebih dewasa dalam menyelesaikannya dan lebih sabar dalam menghadapi semuanya. Setiap ada masalah, selalu kita selesaikan bersama.

Sebelas bulan bukan waktu yang sebentar untuk mengenalmu lebih dalam. Mulai dari kebiasaan, kegiatan, kepribadian, sampai keluarga. Belum lagi susah, senang, tangis, tawa, kecewa, luka, saling menguatkan, saling support dan masih banyak lagi hal-hal yang ikut mewarnai dan memberi corak yang indah dalam kanvas putih kita.

Tiba-tiba semua terasa berubah setelah aku menerima smsmu yang terakhir tanggal 9 Januari 2011 01:02:25. Kamu menghilang tak berkabar. Aku pikir kamu benar-benar sibuk sampai tak sempat mengabariku. Semua pikiran negatif dan bisikan-bisikan dari temanku pun aku abaikan. Seminggu, 2 minggu, 3 minggu, sebulan kamu tetap belum memberikan kabar. Yang bisa aku lakukan saat itu adalah melihat perkembanganmu melalui akun facebook. Dan aku mulai merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Kita sering online bersama, tapi tak pernah sedikitpun kamu menghiraukanku. Apalagi setelah aku melihat kamu asik menyapa temanmu, bercanda, dan mengobrol. Sempat aku berharap jika kamu akan sms aku, tapi hasil yang aku dapatkan nihil. Dua hari aku instropeksi diri dan memikirkan apa saja yang telah aku perbuat. Aku semakin merasa bahwa aku ini orang lain yang gak pernah kenal kamu.

Setelah sebulan lebih dua hari, aku mencoba mengirimimu message melalui facebook. Aku menanyakan kabarmu, keadaanmu, dan meminta maaf jika aku telah melakukan kesalahan padamu. Message itu pun dibalas. Kamu mengatakan bahwa kita akan mengakhiri hubungan ini karena alasan tertentu yang mengharuskan kita tak bisa seperti dulu. Sejujurnya, aku sangat setuju karena hubungan ini berakhir untuk tujuan yang sangat baik. Dengan hati yang tenang aku membalas messagemu dan menjelaskan semuanya yang ingin aku sampaikan. Tak ada setetes air mata yang jatuh ketika aku membalasnya.

Entah kenapa sejak saat itu, tiap malam tidurku terasa tak tenang. Tiba-tiba terbangun, dada sesak dan bayanganmu hadir seketika. Aku pun mulai membenci hadirnya malam, takut untuk memejamkan mata dan takut kesepian. Aku tak tahu sampai kapan aku akan seperti ini.

Jika aku mengingat semua yang telah terjadi, rasanya sakiiiit sekali. Apalagi dengan caramu mendiamkan aku selama sebulan yang saat itu masih menjaga semuanya tetap rapi di hati ini, tiba-tiba harus mendengar bahwa semuanya akan berakhir. Mungkin selama sebulan itu kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk menata ulang hatimu, tapi apa kamu memikirkan bagaimana perasaanku setelah kamu mengatakannya dengan mendadak??? Kurasa tidak. Mungkin kamu juga akan membiarkanku jika sampai detik ini aku tak pernah menanyakan kabarmu. Aku akan diam dan tetap menjaga semuanya, sedangkan kamu??? Aku bingung, apa ada yang salah dengan caraku memperlakukanmu, apa aku pernah membuat kesalahan yang begitu fatal, apa aku tak bisa memberikan yang terbaik untukmu sehingga kamu tega mengatakan semuanya secara mendadak tanpa memikirkan perasaanku. Ibaratnya, kamu tiba-tiba datang memaksaku untuk keluar dari zona aman yang telah aku jaga itu. Seandainya kamu mengkomunikasikan dengan baik bersamaku, besar kemungkinannya aku tak akan sesakit ini. Tapi semuanya terlambat !!!

Harus ku akui, melupakan seseorang yang pernah menemani hari-hariku bukanlah hal yang mudah. Bahkan, kamu sempat menjadi seseorang yang spesial di hidupku. Tak hanya itu, aku pun sudah menganggap kamu sebagai teman hidupku yang sesungguhnya kelak. Itu yang  membuatku semakin sulit melupakan semuanya. Banyak sekali kata-katamu yang meyakinkanku agar aku tetap bersamamu. Semuanya masih tersimpan rapi dalam inbox HPku. Sakit rasanya ketika aku membaca setiap kata-kata di smsmu. Seakan-akan kamu hanya memberikan harapan kosong padaku. Apa mungkin aku yang terlalu bodoh mempercayai kata-katamu?? Mungkin yang harus aku lakukan bukan melupakanmu, tapi membuang semua rasa yang pernah ada, menghapus semua harapan, mimpi, dan komitmen yang pernah kita punya, dan mengobati luka-luka yang tersisa.

Tak pernah kusesali semua yang pernah terjadi di antara kita. Aku bersyukur karena sempat bertemu, berkenalan, dekat hingga pisah sekalipun bersamamu. Setelah semua ini berakhir pun, aku tak akan pernah menghindar darimu. Tapi aku tak akan memaksa jika kamu ingin menghindariku. Tak banyak yang aku inginkan darimu, hanya kembalikan aku sebagai peki yang dulu mengenalmu sebelum berkomitmen denganmu. Aku memang bukan mahasiswa yang se-universitas denganmu, aku memang tak begitu tertarik dengan politik, aku juga tak tau banyak tentang bisnis, bahkan pengetahuan agamaku juga sangat sedikit, tapi jangan jadikan aku seperti orang lain yang tak pernah mengenalimu. Meskipun pada kenyataannya, aku tak akan pernah nyambung dengan topik pembicaraanmu.

Aku memang tak sesedih seperti apa yang kamu takutkan. Tapi aku masih terbiasa menjaga komitmen yang kita punya dan sering merasa nyaman berada di zona aman itu. Bahkan, tak jarang aku masih terbiasa dengan keadaan seperti yang dulu, tapi begitu aku tersadar bahwa semuanya telah berakhir itulah yang membuatku merasa sangat kehilangan. Apalagi setelah seorang temanku menegaskan bahwa sudah tak ada lagi harapan untuk bisa seperti dulu, itu yang membuatku benar-benar yakin jika aku harus keluar dari zona aman itu.

Saat kamu mengatakan itu semua, aku juga mempunyai masalah yang jauh lebih berat dan lebih menguras pikiran. Dan ketika masalah berdatangan, aku benar-benar menyadari bahwa Allah sedang menguji kesabaranku. Inilah saat dimana aku tak mampu untuk menopang semua masalah, saat aku sulit untuk tersenyum, dan aku tak bisa membohongi diriku jika aku yang terlihat kuat mendadak terjatuh. Aku rapuh. Aku butuh orang untuk bersandar, cerita, menangis, motivasi, dan mendengarkan semua keluhku. Saat aku telah menemukan orang yang tepat, dia paham betapa rapuhnya aku saat itu, di hadapannya juga aku tak mampu menahan tangis, dan dia yang memberiku motivasi sampai saat ini. Aku sering memanggilnya “mama”.

Mama pernah bilang, “pikirkan dia yang sekarang bukan dia yang dulu... mulai berbenah hati dan menata diri... jagalah hati untuk tidak kembali ke masa lalu... terlalu sulit bagi kalian untuk melupakan kenangan yang ada... jika kamu ingin bangkit dan lepas dari ini semua... ayo bangkit perlahan... mari kita berjalan seiring... meski tertatih perlahan luka itu akan sembuh total... ini hanya rangkaian cobaan yang diberi Allah... butuh waktu untuk itu semua... ada mama disini... mama siap menopangmu disaat kamu mulai jatuh lagi... kita berjalan seiring sayang... kamu ndak sendiri... mama sayang supekiii... smangat sayaang... >.<”.

Tak hanya itu, motivasi lain juga datang dari mbak Hartik. Kakak yang juga selalu sayang sama aku. Dia pernah bilang, “sabar ya dek... rencana Allah itu pasti indah... pokoknya kamu harus percaya bahwa rencana Allah itu selalu terbaik... gak boleh sedih berlebihan... bagaimanapun juga peki harus bisa jaga perasaan sendiri agar gak tersakiti...”.

Kini, aku mencoba mengobati luka-luka ini, bangkit dari bayangan masa lalu, membuang semua rasa, mimpi dan harapan itu, selalu tersenyum dalam setiap keadaan, menatap hari esok dengan positif dan berjalan tegap meskipun masih terseok-seok.

Ya Allah... Kau tahu jika aku sangat lemah. Kau tahu jika aku sangat rapuh. Aku pun tahu Kau memberi cobaan ini karena Kau sayang padaku dan percaya jika aku mampu melewatinya. Aku bersyukur Kau memberiku masalah yang bertubi-tubi ini. Kau mengajarkanku agar lebih dewasa, lebih ikhlas dan lebih bersabar.
Ya Allah... kuatkan aku, sabarkan aku, dan lapangkanlah hatiku. Sembuhkan hati yang terluka ini, tegapkan jalanku yang masih terseok-seok ini, kuatkan raga ini untuk tetap tersenyum, bermanfaat untuk orang lain, dan jadikan aku sebagai orang yang lebih baik.
Ya Allah... jangan Kau hadirkan cinta lagi untuk seorang pria saat ini. Bukan karena aku tak mau, tapi datangkan cinta itu lagi setalah aku benar-benar siap untuk menikah. Berikan aku cinta lagi untuk teman hidupku kelak yang Kau ridhoi, yang terbaik menurutMu, dan yang mampu menjadi imamku.
Ya Allah... jika dia memang jodohku, maka kembalikan dia saat aku siap nanti. Tapi jika dia bukan jodohku, maka kirimkan jodoh yang terbaik untuk kami. Aku percaya jika rencana-rencanaMu sangat baik, indah dan terbaik untukku.
Ya Allah... ajarkan aku untuk bisa lebih mencintaiMu, ajarkan aku untuk bisa lebih mensyukuri nikmatMu, ajarkan aku untuk menjadi orang yang sabar, ajarkan aku untuk menjadi orang yang ikhlas, dan ajarkan aku menjadi orang yang lebih baik dihadapanMu. Ya Allah... bimbinglah aku untuk selalu berada di jalanMu. Berkahi keluargaku dan keluarga orang-orang yang menyayangiku dengan rahmatMu. Berikan dia kemudahan untuk tujuan baiknya, berikan kelancaran di setiap niat tulusnya, berikan yang terbaik untuknya dan berikan dia kekuatan untuk menjalankan semuanya.

Terima kasih untuk kepercayaan, kesetiaan, kasih sayang, motivasi, semangat, hadiah, dan semua yang telah kamu berikan untukku. Maafkan jika selama aku menjadi teman dekatmu pernah menyakiti, menyinggung, melakukan kesalahan, dan semua hal yang membuatmu tak suka.

Mungkin cerita “Si Tembem dan Si Cerewet” tak akan ada lagi. Coretan di kanvas putih mereka telah usai dan mampu memberikan corak yang indah. ^_^